Sabtu, 29 Oktober 2011

Pergeseran Makna Cantik

Selama ini, dalam pandangan masyarakat luas, kata ”cantik” selalu didentikkan dengan sosok wanita yang berkulit putih, bertubuh langsing, memiliki hidung mancung dan lain sebagainya, yang tolok ukurnya didasarkan pada kondisi fisik perempuan semata.

Kecantikan tidaklah cukup hanya diukur dari aspek lahiriah (fisik) seseorang saja. Akan tetapi, kecantikan yang sesungguhnya terletak pada kepribadian seseorang yang terwujud dalam tingkah laku kehidupan sehari-hari. Yaitu kecantikan yang lahir dari dalam diri seseorang (inner beauty).

Pemahaman sebagian masyarakat yang menganggap bahwa cantik itu putih sangat dipengaruhi oleh kekuatan media dalam mengkonstruksi kecantikan. Media massa sebagai pembentuk opini publik, secara tidak langsung telah menimbulkan kegelisahan pada sebagaian besar wanita. Khususnya mereka yang tak berkulit putih. Bagaimana tidak, setiap iklan produk kecantikan yang di blow up oleh media massa, selalu menampilkan sososk wanita-wanita yang berkulit putih dan bertubuh langsing. Belum lagi dengan begitu banyaknya produk-produk kecantikan yang mengusung tema whitening, yang semakin menguatkan anggapan mereka bahwa wanita yang cantik adalah yang berkulit putih.

Pergeseran Makna

Sesungguhnya kecantikan itu adalah milik setiap wanita. Tidak ada satu pun wanita di dunia ini yang berhak mengklaim bahwa kecantikan itu hanya milik satu golongan saja. Wanita yang berkulit putih, sawo matang, kuning langsat bahkan hitam sekali pun sama-sama berhak menjadi cantik.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata cantik itu bermakna indah, elok dan rupawan. Kemudian dalam penerapannya, pemaknaan seseorang terhadap kecantikan itu berbeda dan bahkan selalu berubah dari waktu ke waktu. Konsep kecantikan seseorang di daerah tertentu boleh jadi berbeda dari konsep kecantikan seseorang di daerah lain.

Dulu, pada zaman kekaisaran Romawi, wanita cantik adalah wanita yang bertubuh gemuk, wanita yang subur, sehingga tak heran jika Julius Caesar jatuh cinta pada Cleopatra, yang menurut sejarah adalah wanita yang betubuh subur. Pada masa berikutnya, pemaknaan cantik mulai bergeser. Cantik itu kemudian dimakanai sebagai wanita yang memiliki tubuh langsing dan berkulit putih.

Sekarang, kepemilikan tubuh langsing dan kulit putih sepertinya tak lagi dijadikan ukuran mutlak seseorang disebut cantik. Dengan terpilihnya Leila Lopes sebagai Miss Universe 2011, dominasi makna cantik itu putih telah terkikis dengan sendirinya. Seperti diketahui bahwa Miss Universe adalah ajang kontes kecantikan wanita sejagad yang dijadikan referensi utama dalam memaknai kecantikan, dan ternyata Lopes mampu membuktikan kepada dunia bahwa wanita berkulit hitam sekali pun adalah cantik.

Hakikat Cantik

Berkaca dari ajang Miss Universe yang menobatkan Lopes sebagai ratu kecantikan sejagad itu, dapat ditafsirkan bahwa hakikat cantik adalah kepemilikan kemampuan-kemampuan tertentu yang membuat seseorang wanita itu benar-benar menjadi wanita seutuhnya, menjadi wanita yang anggun, sopan, dan memiliki tingkah laku yang baik. Yang ukuran-ukuran kecantikan itu didasarkan pada aspek kepribadian, bukan fisik. Kecantikan yang sesungguhnya adalah sesuatu yang bersumber dari hati, kemudian terefleksikan dalam tindakan nyata. Inilah yang disebut dengan inner beauty.

Persepsi yang mendasarkan kecantikan pada aspek lahiriah harus segera didekonstruksi. Karena jika tidak, persepsi seperti itu akan mengakibatkan diskriminasi yang kian tajam dan bisa menumbuhkan sikap rasisme.
Warna kulit, bentuk hidung, bentuk rambut, dan aspek-aspek lahiriah lainnya adalah sesuatu yang terbentuk secara alamiah. Tidak fair manakala kecantikan hanya diukur dari aspek lahiriah semata, karena secara fisik, antara manusia satu dengan yang lain itu berbeda, dan itu adalah sebuah keniscayaan dan rahmat.

Oleh karena itu, makna kecantikan sekarang ini harus mulai diarahkan pada aspek ruhaniah seseorang (inner beauty). Kecantikan yang sesungguhnya harus bisa memberikan energi positif bagi sekitarnya, sehingga kriteria kecantikan akan berubah dari yang berkulit putih dan bertubuh langsing menjadi seseorang yang memiliki kemampuan dan prestasi tinggi, yang dapat memberikan maanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain, memiliki perilaku yang baik, mau menolong terhadap sesama dan lain sebagainya. Kemudian, inner beauty itu dengan sendirinya akan terpancar dari seorang wanita yang dalam tingkah laku sehari-harinya mampu memberikan dampak positif bagi lingkungan dan orang-orang di sekelilingnya.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah Muhammad SAW, bersabda yang artinya: ”Sesungguhnya Allah tidak melihat seseorang dari suara dan dari wajahnya (jasad), melainkan Ia melihat hati dan perilakunya”. Hadis ini dengan tegas menerangkan bahwa kriteria fisik tidak menjadi penentu dalam menilai seseorang. Akan tetapi yang menjadi penentu dan dijadikan kriteria untuk menilai dan membedakan kualitas seseorang adalah hati dan perilakunya.

Jika pemaknaan kecantikan seperti ini disadari dan kemudian diimplementasikan oleh setiap wanita, maka tidak ada lagi kekhawatiran bagi wanita untuk tidak bisa menjadi cantik. Justru melalui pemaknaan seperti ini, setiap wanita bisa menjadi cantik suutuhnya. Dan pada akhirnya figur-figur yang dijadikan referensi sebagai wanita cantik adalah sosok seperti Siti Khadijah, Bunda Teresa, RA Kartini, Dewi Sartika, dan wanita-wanita lain yang mendedikasian hidupnya untuk memberikan manfaat bagi orang-orang di sekelingnya

Oleh: Misbahul Ulum, instruktur HMI Cabang Semarang, Senat Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang.

Sumber: CyberNews

Sombat-sambat Ora Sumbut

Mengeluh, rasanya sudah membudaya di kalangan masyarakat kita. Simak saja di berbagai jejaring sosial, kata-kata keluhan, umpatan, hingga cacian mewarnai dinding-dinding para pemilik akun. Entah keluhan yang di tujukan untuk teman kerja, tetangga, sistem pemerintahan, hingga mengeluh untuk dirinya sendiri.

Seperti sebuah kebiasaan, mulai dari bangun tidur saja kalimat keluhan sudah terlontar. Ada-ada saja hal dan cara keluhan mereka, misalnya saja jika hendak mengawali hari Senin. Seperti yang saya kutip dari beberapa status teman di facebook yang menuliskan, "Kenapa ya ada hari Senin," atau "Lagi-lagi Senin," dan "I hate monday!"

Padahal, semakin mengeluh dan memikirkan suatu ketidaksenangan, justru akan semakin menariknya ke dalam kehidupan kita. Tak ubanya hukum tarik menarik atau dikenal dengan konsep Law of Attraction yang dipopulerkan di buku best seller "The Secret".

Kebudayaan Jawa pun sejatinya telah mengajarkan kita untuk selalu bersukur dan menjaga keharmonisan dengan alam. Memaknai dan memberi warna istimewa terhadap hasil yang telah diperoleh. Kemudian memanfaatkannya untuk kepentingan orang lain dan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri maupun keluarga. Ini merupakan presentasi kebudayaan Jawa yang senantiasa diselaraskan dengan alam dan kaya makna dalam ranah kehidupan sosial.

Tanpa disadari, tak sedikit seseorang yang banyak berpendapat, tetapi kurang pendapatan (produktivitasnya). Dalam idiom Jawa disebut, "sombat-sambat ora sumbut". Artinya, banyak mengeluh tetapi tidak sepadan (dengan usahanya). Sadarkah bahwa bersyukur akan jauh lebih melegakan ketimbang mengeluh?

Ada berbagai hal untuk menaklukan sifat buruk ini.
  1. Hari ini, sebelum mengatakan kata-kata yang tidak baik, pikirkan tentang seseorang yang tidak dapat berbicara sama sekali.
  2. Sebelum mengeluh tentang rasa dari apa yang hendak disantap, pikirkan tentang seseorang yang tidak punya apapun untuk dimakan.
  3. Sebelum mengeluh tidak punya apa-apa, pikirkan tentang seseorang yang meminta-minta di jalanan.
  4. Sebelum mengeluhkan pasangan, pikirkan tentang seseorang yang memohon kepada Allah untuk diberikan teman hidup.
  5. Sebelum mengeluh tentang kehidupan kita, pikirkan tentang seseorang yang meninggal terlalu cepat.
  6. Sebelum mengeluh tentang anak-anak, pikirkan tentang seseorang yang sangat ingin mempunyai anak tetapi dirinya mandul.
  7. Di saat tengah lelah dan mengeluhkan pekerjaan, pikirkan tentang pengangguran, orang-orang cacat yang berharap mereka mempunyai pekerjaan seperti kita.
  8. Sebelum menunjukkan jari dan menyalahkan orang lain, ingatlah bahwa tidak ada seorang pun yang tidak berdosa.
Alam sebenarnya mempunyai inteljensi luar biasa yang mampu memahami niat dan isi hati kita tanpa ada batasan cara. "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat." (Al Quran, Ibrahim, 14:7)

Oleh: Diantika P. W.

Sumber: CyberNews

Rabu, 19 Oktober 2011

EDS

EDS di sini bukanlah Evaluasi Diri Sekolah seperti yang sedang dicanangkan sebagai wujud penilaian terhadap kinerja sekolah terhadap 8 Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang hasilnya menjadi masukan dan dasar penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) dalam upaya peningkatan kinerja sekolah. 

EDS di sini merupakan kepanjangan dari Evaluasi Diri Sendiri yang dapat didefinisikan sebagai proses yang mengikutsertakan semua potensi diri untuk membantu seorang individu dalam mengaktualisasikan diri sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan oleh individu yang bersangkutan.

Melalui EDS, kemampuan serta pencapaian target diri dapat diketahui, selain itu, aspek-aspek yang memerlukan peningkatan dapat diidentifikasi.

EDS juga dapat digunakan untuk melihat rencana jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. Apabila seorang individu belum memiliki rencana-rencana tersebut, maka diharapkan kegiatan EDS akan memacu motivasi individu untuk membuat atau memperbaiki rencana-rencananya sebagai tujuan mencapai hasil yang diinginkan.

Hasil EDS digunakan sebagai bahan untuk menetapkan aspek yang menjadi prioritas dalam rencana peningkatan dan pengembangan mutu diri sendiri.

Dengan melakukan EDS, seorang individu akan memperoleh banyak keuntungan, antara lain: (1) individu mampu mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya sebagai dasar penyusunan rencana untuk masa depan yang lebih baik, (2) individu mampu mengenal peluang untuk memperbaiki kinerja diri, menilai keberhasilan diri dalam upaya peningkatan kesejahteraan, dan melakukan penyesuaian rencana yang sudah disusun, (3) individu mampu mengetahui tantangan yang dihadapi dan mendiagnosis jenis kebutuhan yang diperlukan untuk perbaikan, dan (4) Individu dapat mengetahui tingkat pencapaian kinerjanya selama ini.

Dalam dunia pendidikan dan keguruan, EDS merupakan kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh masing-masing stakeholder, baik eksternal maupun internal. Tidak mencoba munafik, sebagai seorang manusia awam penuh dengan keinginan dan kesalahan. Hanya saja, Keringat Guru Honorer, Keluh Kesah Tenaga Pendidik Honorer, Guru Memukul Guru Siapa Benar?, Jangan Asal Jadi Guru, dan Guru Sertifikasi Menyeleweng, Siapa Salah??? akan memberikan sedikit warna dalam proses pendidikan kita sehingga EDS menjadi hal yang krusial.

Akan lebih bijak untuk kita apabila mencoba tidak mengindahkan dan terpengaruh dengan link di atas dan selanjutnya fokus pada diri kita sendiri. Bagaimana kita seharusnya saat ini serta bagaimana kita untuk kedepannya. Sisakan sedikit waktu untuk melakukan EDS, niscaya akan banyak membantu kita dalam menapaki hari-hari yang harus kita lalui.

Salam!

Karangsambung, (Episode Prasejarah)
ARTI KURIKULUM
Part 3
RASIONALISASI DALAM PERSUASI
Oleh: Kiftirul ‘Aziz

“Soal tes kelas III ini kok terlalu sulit sekali yak????? kata salah seorang Kepala Sekolah dari negeri Atas Angin kepada dewan gurunya.
Dewan guru yang ditanya – kebetulan merasa bisa – langsung menjawab, “Nanti dulu, Pak. Dilihat dulu, kalau memang alasan dan dasarnya kuat, bisa kita bicarakan dengan pak pengawas, setahu saya, beliau sarjana. Kata beliau dulu, jika kita belum pernah mengajarkan, kita bisa merubah soal yang bersangkutan, itu diatur di undang-undang lho, Pak!”.
“Dilihat bagaimana? Wong dari baunya saja sudah kelihatan kalau ini bukan ukuran anak kelas III, ini ukuran anak kelas VI!!!” kepala sekolahnya ngotot.

Sekali lagi, perdebatan imajiner, kisah dari negeri Atas Angin, penuh polemik batin dan kontroversial.

Rasionalisasi merupakan suatu proses penggunaan akal untuk memberikan dasar pembenaran kepada sebuah persoalan, di mana dasar atau alasan tersebut bukanlah sebab langsung dari masalah itu (Keraf, 2007: 124-125).

Sejalan dengan Keraf, Depdiknas (2007: 933) menyatakan bahwa rasionalisasi merupakan sebuah proses untuk merasionalkan sesuatu yang semula tidak rasional. Hal ini menunjukkan bahwa rasionalisasi dapat dipergunakan untuk menipu diri sendiri maupun dapat pula digunakan untuk menipu orang lain bahwa yang diambil itu benar.

Pendapat lain dari Wikipedia (2011), dalam psikologi dan logika, rasionalisasi (atau alasan pembuatan) adalah mekanisme pertahanan yang dianggap sebagai perilaku yang kontroversial atau perasaan yang dijelaskan secara rasional atau logis untuk menghindari penjelasan yang benar, sering melibatkan hipotesa ad hoc. Sedangkan hipotesa ad hoc menurut Ridwan Fendy (2011) adalah hipotesis yang dilakukan ilmuan sekedar untuk mempertahankan teorinya dari sebuah falsifikasi (agar tidak disalahkan), akibat yang terjadi menyebabkan teori semakin lama semakin rumit dan semakin rumit.

Dapat digarisbawahi, rasionalisasi merupakan proses penggunaan akal untuk memberikan dasar pembenaran terhadap sesuatu yang tadinya tidak masuk akal dengan tujuan mempertahankan teorinya dari sebuah falsifikasi.

O’Keefe; Larson; Pfau&Parrot (dalam Yudi Perbawaningsih, 2003: 6) menyatakan bahwa persuasi merupakan komunikasi yang bertujuan untuk mengubah atau membentuk pendapat, sikap, dan perilaku yang dikehendaki oleh sumber (persuader).

Senada dengan Keraf (2007: 120) yang mengemukakan persuasi merupakan suatu keahlian untuk mencapai suatu persetujuan atau kesesuaian kehendak pembicara dan yang diajak bicara; ini merupakan proses meyakinkan orang lain supaya orang lain menerima apa yang diinginkan pembicara tersebut.

Pendapat lain mengatakan bahwa persuasi merupakan ajakan kepada seseorang dengan cara memberikan alasan dan prospek baik yang meyakinkan (Depdiknas, 2007: 864).

Dapat disimpulkan bahwa persuasi merupakan keahlian untuk mencapai persetujuan kehendak pembicara agar orang lain menerima apa yang diinginkan pembicara dengan cara memberikan alasan dan prospek baik yang meyakinkan.

Rasionalisasi dalam persuasi merupakan proses pemberian dasar pembenaran terhadap sesuatu yang tadinya irasional dengan tujuan agar orang lain menerimanya sebagai sesuatu yang masuk akal.

Dalam konteks tulisan ini, sukar atau tidaknya suatu soal tidak bisa disimpulkan hanya dengan sekedar membaca soal, laporan dari orang lain yang belum tentu kebenarannya, atau karena peserta didiknya tidak bisa menjawab soal tersebut. Jika itu yang digunakan sebagai dasar, peserta didik yang belum rajin belajar pun bisa mengatakan bahwa soal yang diujikan itu sukar. Sulit dibayangkan apabila kita menyamakan pola pikir stakeholder yang notabenenya berpendidikan S1 dengan peserta didik usia sekolah dasar. Sungguh ironi dan memprihatinkan jika memang itu keadaan yang senyatanya.

Kelayakan suatu soal dapat ditinjau dari banyak hal, di antaranya validitas, reliabilitas, dan tingkat kesukaran. Selain itu, langkah-langkah konstruksi tes juga harus ditempuh. Hal lain yang menyangkut proses pembuatan soal dapat kita bahasa di lain kesempatan.

Validitas menurut Djaali & Pudji Mulyono (2008: 49) yaitu ukuran seberapa cermat suatu tes melakukan fungsi ukurnya atau mengukur sesuatu yang seharusnya diukur.

Senada dengan Sumarna Surapranata (tanpa tahun: 50) yang menyatakan bahwa validitas merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan sejauh mana tes telah mengukur apa yang seharusnya diukur.

Validitas menurut Djemari Mardapi (2008: 16) adalah dukungan bukti dan teori terhadap penafsiran skor tes sesuai dengan tujuan penggunaan tes.

Menurut Sumarna Surapranata (tanpa tahun: 51), validitas sendiri dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu: (1) Content validity, (2) Construct validity, (3) Predictive validity, dan (4) Concurrent validity.

Djaali & Pudji Mulyono (2008: 50) menyatakan bahwa konsep validitas tes dapat dibedakan atas 3 macam, yaitu: (1) validitas isi (content validity), (2) validitas konstruk (construct validity), dan (3) validitas empiris atau validitas kriteria. Validitas empiris sendiripun masih dibedakan lagi atas dua macam, yaitu validitas kongkuren dan validitas prediktif.

Cronbach (dalam Djemari Mardapi, 2008: 17) menyatakan bahwa proses validasi itu sendiri bukan bertujuan untuk melakukan validasi tes, akan tetapi melakukan validasi terhadap interpretasi data yang diperoleh melalui prosedur tertentu. Bukti tersebut diperoleh dari akumulasi bukti yang mendukung penafsiran skor suatu tes. Bukti validitas itu sendiri dikelompokkan menjadi empat, yaitu: (1) bukti berdasarkan isi tes, (2) bukti berdasarkan proses respon, (3) bukti berdasarkan struktur internal, dan (4) bukti berdasarkan hubungan dengan variabel lain.

Reliabilitas menurut Djaali & Pudji Mulyono (2008: 55) menyebutkan bahwa reliabilitas berhubungan dengan sejauhmana hasil pengukuran dapat dipercaya. Dalam sumber yang sama, reliabilitas itu sendiri masih dibedakan atas dua macam, yaitu reliabilitas konsistensi tanggapan dan reliabilitas konsistensi gabungan item.
Reliabilitas sendiri menurut Nunnaly; Allen & Yen; dan Anastasi (dalam Sumarna Surapranata, tanpa tahun: 89) adalah kestabilan skor yang diperoleh orang yang sama ketika diuji ulang dengan tes yang sama pada situasi yang berbeda. Reliabilitas dapat dinyatakan sebagai tingkat keajegan atau kemantapan hasil dari dua pengukuran terhadap hal yang sama.

Terdapat beberapa alasan untuk menyatakan tingkat kesukaran suatu instrumen soal. Dari sisi teoritis, tingkat kesukaran suatu soal dapat dilihat dari validitas konstruknya. Konstruk di sini bukan merupakan konstruksi bangunan atau susunan, melainkan rekaan psikologis yang berkaitan dengan ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Soal kategori pemahaman tentu saja akan lebih sukar dibandingkan dengan soal-soal ingatan. Begitu juga sebaliknya, soal aplikasi akan lebih mudah dikerjakan dibandingkan dengan soal evaluasi.

Cara lain yang bisa digunakan untuk mengetahui tingkat kesukaran suatu soal yaitu dengan proporsi jawaban benar (p), yaitu jumlah peserta tes yang menjawab benar pada butir soal yang dianalisis dibandingkn dengan jumlah peserta tes seluruhnya. Tingkat kesukaran (p) sebenarnya merupakan nilai rata-rata dari kelompok peserta tes. Croker & Algina (dalam Sumarna Surapranata, tanpa tahun: 19) menyatakan bahwa tingkat kesukaran sebenarnya adalah rata-rata dari suatu distribusi skor kelompok dari suatu soal. Proporsi jawaban benar (p) merupakan tinjauan empiris untuk menyatakan sukar tidaknya suatu soal.

Djaali & Pudji Mulyono (2008: 12) menyebutkan 11 langkah konstruksi tes, antara lain: (1) menetapkan tujuan tes, (2) analisis kurikulum, (3) analisis buku pelajaran dan sumber dari materi belajar lain, (4) membuat kisi-kisi, (5) penulisan tujuan instruksional yang dirumuskan secara operasional dan secara teknis menggunakan kata-kata operasional, (6) penulisan soal, (7) reproduksi tes terbatas dalam jumlah yang cukup menurut jumlah sampel uji coba (peserta tes dalam suatu kegiatan uji coba), (8) uji coba tes, di mana sampel harus memiliki karakteristik yang kurang lebih sama dengan karakteristik peserta tes yang sesungguhnya, (9) analisis hasil uji coba, (10) revisi soal, dan terakhir (11) merakit soal menjadi instrumen tes. Setelah langkah-langkah itu dilaksanakan, barulah instrumen tes siap digunakan.

Berdasarkan uraian di atas, tidaklah mudah membuat suatu instrumen tes yang baik apalagi mengacu pada validitas dan reliabilitas suatu instrumen tes, jauh lebih mudah berbicara bahwa soal ini tidak layak, soal ini terlalu sukar, soal ini lebih pantas untuk kelas VI, serta statement-statement lain yang terkesan mendiskriditkan si pembuat soal tanpa ada argumentasi yang logis.

Kelayakan suatu instrumen soal bukan dilihat dari siapa yang membuat, GTT atau PNS, S1 atau D2, Kepala Sekolah atau Pengawas, akan tetapi dari sisi obyektifitasnya. Marilah kita lebih bijak untuk menyikapi segala sesuatunya yang terlihat sensitif demi kemajuan dunia pendidikan.

Salam.

Karangsambung, The Lost World
ARTI KURIKULUM
Part 2
SEBUAH NAMA, SEBUAH CERITA

Oleh: Kiftirul ‘Aziz

“Ketika membuat soal tes, mbok ya menyesuaikan dengan kemampuan siswanya. Meskipun kompetensi dasarnya berbunyi seperti itu, kita harus melihat kondisi kita,” kata seorang stake holder dari negeri Atas Angin.
“Sebenarnya soal UKK bisa dirubah oleh guru kelasnya apabila guru yang bersangkutan merasa tidak mengajarkan materi dalam soal tersebut dan ini diatur oleh undang-undang,” timpal stake holder yang lain.

Dianalogikan sebuah advokasi, dialog yang terjadi antara stake holder dari negeri Atas Angin di atas akan mungkin menjadi begitu populer di telinga kaum yang mengedepankan aspek afektifnya. Kata Maurinho “Apa arti sepak bola atraktif apabila kalah dengan gaya sepak bola pragmatis? Kita hidup pada dunia yang haus gelar Bung, bukan dunia Jogo Bonito”. Tepat sekali pernyataan dari Maurinho, tuntutan dari dunia sepak bola saat ini adalah prestige yang diperoleh salah satunya dengan cara mendapatkan sebuah gelar. Berdasarkan pernyataan Maurinho tersebut, kita dapat mengajukan sebuah proposisi bahwa warga negara Atas Angin – dalam konteks ini – banyak menggunakan perasaan untuk menyikapi permasalahan yang terjadi. Wajar saja, tuntutan negeri Atas Angin bukanlah sebuah pelaksanaan aturan yang murni dan konsekuen, tapi pelaksanaan aturan berdasarkan perasaan.

Tanpa kita sadari, dalam proses belajar mengajar – diakui ataupun tidak – selalu ada tuntutan yang dimanifestasikan dalam bentuk perangkat mata pelajaran yang diajarkan atau lazim dengan sebutan kurikulum. Tujuan dari proses belajar mengajar itu sendiri mengenai apa yang harus dikuasai oleh anak, di mana tujuan tersebut dijadikan sebagai standar dan ditetapkan dalam kurikulum. Dengan aturan tertulis semacam itu, hendaknya setiap pihak memahami – bagi yang memahami – bahwa sebuah aturan bukan hanya digunakan sebagai pelengkap administrasi. Lebih jauh dari itu, aturan tersebut dijadikan sebagai acuan dalam pelaksanaan proses pembelajaran.

Bukan rahasia lagi apabila KTSP memberikan keleluasaan bagi setiap tingkat satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum yang digunakan berdasarkan standar isi yang dibuat oleh BNSP (Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006, Pasal 1 ayat 2 dan ayat 3). Mengembangkan di sini dapat diartikan menaikkan standar setingkat atau mungkin beberapa tingkat lebih tinggi dari standar terendah (penulis belum mengetahui ada arti lain dari kata “mengembangkan” selain yang penulis sebutkan). Kurikulum tersebut digunakan sebagai dasar atau acuan untuk melaksanakan proses pembelajaran, yang pada gilirannya nanti dijadikan sebagai landasan pembuatan blue print – memuat ranah kognitif, afektif, dan psikomotor – sebelum mencapai hasil akhir dengan wujud instrumen soal.

Permasalahan akan muncul apabila dalam satu sistem terbentuk diskrepansi antara si pembuat soal dengan pengampu materi. Satu sisi si pembuat soal merasa sudah menggunakan dasar yang bisa dipertanggungjawabkan di sisi lain pengampu materi juga sudah memberikan materi berasarkan acuan kurikulum. Dalam hal ini perlu kajian yang lebih serius bagaimana bisa terjadi permasalahan tersebut. Yang wajib dipastikan, kajian tersebut haruslah bersifat ilmiah, agar diskrepansi yang menjadi permasalahan dapat melegakan semua pihak dan tidak menjadi omong kosong belaka.

Pertanyaannya sekarang, apa yang terjadi apabila “tuntutan” yang syah secara hukum – dalam konteks ini adalah kurikulum – dipaksa dengan alasan perasaan untuk mengikuti pelaku dari tuntutan yang bersangkutan?

Pertanyaan kedua, apabila sebuah soal mewakili materi yang belum pernah diajarkan oleh guru pengampu, mana yang harus diremidiasi? Guru pembuat soal ataukah guru yang mengajarkan materi? Sedangkan keduanya berada pada satu batasan payung kurikulum dan satu bendera aturan yang syah. Mungkin salah satu? Atau malah kedua-duanya? Kesimpangsiuran jawaban dari kedua pertanyaan di atas mengarahkan kita kepada arti sebuah kurikulum sebagai acuan dasar dalam proses belajar mengajar. Hendaknya kita menyadari bersama sehingga kurikulum tersebut tidak hanya menjadi sebuah nama dan sebuah cerita.

Salam!

Karangsambung, The Lost World
ARTI KURIKULUM
Part 1
BIAS SEBUAH REGULASI

Oleh: Kiftirul ‘Aziz

"Salam bapak! Share saja ya pak; hanya sebuah wacana dari apa yang kebanyakan orang sebut sebagai "barisan idealis". Sebelum saya berbicara, saya akan menanggalkan atribut saya sebagai, (1) guru yang belum terlegitimasi, (2) guru yang belum mempunyai jam terbang puluhan tahun, dan (3) guru yang tidak dianggap sebagai guru oleh orang yang melihatnya sebelah mata. Point of view dari pembicaraan saya adalah tanda tanya besar dari dalam diri saya yang memunculkan sederet pertanyaan yang dilematis, di mana pertanyaan tersebut, hanya bapak yang saya anggap pantas untuk menjawabnya. Pertanyaannya yaitu, (1) bapak sebagai stake holder; mana yang akan bapak pilih; ketika ada sebuah regulasi yang dijadikan sebagai acuan nasional, bapak sebagai pelaksana regulasi mengikuti regulasi tersebut? ataukah regulasi tersebut yang "berkewajiban" mengikuti bapak? (2) bapak sebagai stake holder; manakah yang akan bapak pilih –ketika berhadapan dengan sebuah regulasi– berpikir rasional atau berpikir irasional? Jawabannya yang ilmiah ya pak, karena saya akan banyak belajar dari jawaban bapak. Salam!"

Sepenggal pesan yang terlihat artificial; hanya saja, tidak terlalu urgent untuk membahas apakah pesan tersebut menggambarkan hal yang senyatanya ataukah hal yang tidak pernah ada; jauh lebih penting jika kita bisa melihat makna di balik pesan singkat di atas.

Tergambar secara implisit kekecewaan penulis pesan di atas dengan keadaan yang ia hadapi. Bahasan yang sensitif dan penuh alternatif pilihan jawaban disajikan penulis pesan tersebut.

Bagian pertama mengandung pertanyaan, bagaimana sikap responden terhadap artikulasi sebuah tujuan?

Menyitir pendapat David McNally (dalam Rose Colin, 2002: 116) bahwa ada jaminan untuk tidak sampai pada tujuan yang tidak pernah ditetapkan. Tujuan merupakan standar yang dijadikan motivasi oleh si penentu tujuan untuk tolok ukur keberhasilan yang bersangkutan. Standar merupakan acuan minimal pencapaian sebuah tujuan; oleh karenanya, serendah apapun sebuah standar, ia diperlukan, karena ia berperan sebagai patokan sekaligus pemicu untuk mencapai aktivitas hidup (Depdiknas Badan Litbang Pusat Penelitian Pendidikan, 2003: 4). Bagaimana pencapaian itu akan tercapai apabila tujuan yang dijadikan sebagai standar itu sendiri masih dihinggapi keadaan yang dilematis antara mengikuti dan diikuti? Sebagaimana pendapat Cohen (dalam Kerlinger, 2006: 26) tanpa adanya gagasan pemandu dengan kata lain, sebuah standar, kita akan kesulitan fakta mana yang perlu dihimpun, dan pada gilirannya nanti kita tidak dapat menetapkan apa yang relevan dan apa yang tidak relevan.

Bagian kedua memaksa responden untuk memperlihatkan persepsi yang digunakan responden dalam penyikapan sebuah regulasi.

Berdasarkan definisi lazim, rasional merupakan pemikiran menurut akal sehat/nalar; sedangkan irasional adalah tidak berdasarkan akal/penalaran yang sehat. Dapat dikatakan bahwa orang rasional merupakan orang yang mempunyai akal yang sehat dan orang irasional adalah seseorang yang mempunyai akal tidak sehat (gila). Batasan dari keduanya merupakan hal yang nisbi. Hanya saja, akan beda cerita ketika keduanya terletak dalam sebuah sistem yang sama. Sistem dengan dasar yang jelas dan bertanggungjawab.

Dalam proses perjalanannya, sebuah sistem merupakan bingkaian yang mempunyai patokan/acuan berbentuk konsensus yang terlegitimasi (regulasi). Regulasi tersebut menjamin pelaku dalam sistem tidak keluar dari rel yang telah ditetapkan. Regulasi juga memantapkan jalannya sistem yang bersangkutan. Tanpa adanya regulasi, semua terlihat relatif, akhirnya bermuara ke fleksibilitas, dan tenggelam dalam utopia.

Apapun bentuk dari sebuah regulasi, ia muncul dari pikiran yang rasional. Proses pencapaian sebuah regulasi akan melalui banyak pertimbangan yang ditinjau dari sisi positif dan negatif. Adanya proses yang penuh dengan pertimbangan tersebut memperlihatkan betapa rasionalnya pengambil regulasi yang bersangkutan.

Yang menjadi permasalahan, ketika regulasi dilanggar oleh pikiran yang tidak sehat/irasional/gila. Ketidakpuasan –perlu bukti untuk menuliskan “ketidakmampuan”– dalam menjalani regulasi akan memunculkan pola yang berbeda dalam menyikapi suatu regulasi. Penyikapan yang berbeda melegitimasi diri dengan kedok fleksibilitas dan memelintir regulasi dengan dalih ketidakpuasan –perlu bukti untuk menuliskan “ketidakmampuan”– dalam menjalani regulasi. Sikap demikian menunjukkan cara berpikir yang irasional.

Sekalipun keduanya mempunyai sudut pandang yang berbeda, akan tetapi mereka berada dalam kapal yang sama bernama “regulasi”. Masing-masing mempunyai argumentasi sendiri untuk mempertahankan pendapatnya. Hanya saja, Kerlinger (2006: 18) menyatakan bahwa pendapat atau keyakinan subjektif harus diperiksa dengan menghadapkannya pada realitas obyektif.

Bagian terakhir merupakan bagian yang menjadi harapan penulis pesan yang bersangkutan, “Jawabannya yang ilmiah ya pak, karena saya akan banyak belajar dari jawaban bapak.”

Pada hakikatnya, ilmu adalah pengetahuan ilmiah. Ilmu merupakan pengetahuan yang telah teruji kebenarannya melalui metode ilmiah. Sehubungan dengan hal tersebut, kebenaran yang telah teruji dapat disebut sebagai kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah merupakan kebenaran yang tidak hanya berdasarkan rasio atau kemampuan otak, bisa disebut juga sebagai penalaran, akan tetapi dibuktikan pula secara empiris. Berpikir ilmiah mengarahkan kita kepada metode ilmiah, yakni metode untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah.

Braithwaite (dalam Kerlinger, 2006: 13) menyatakan bahwa fungsi dari ilmu pengetahuan adalah menetapkan hukum-hukum umum yang meliputi perilaku kejadian dan objek yang dikaji oleh ilmu yang bersangkutan. Hukum yang ditetapkan tersebut melalui teori yang telah dibuktikan kebenarannya. Tanpa teori yang telah diuji, hanya akan ada pengetahuan mengenai fakta saja dan tidak ada ilmu pengetahuan. Dengan tidak adanya ilmu pengetahuan, hukum yang ditetapkan akan rapuh dan mudah goyah.

Ilmu pengetahuan dilahirkan dari metode ilmiah, di mana hasil dari proses metode ilmiah dapat dibuktikan secara teoritis dan empiris.

Akhirnya, mengubah kebiasan yang turun temurun memang teramat sulit. Namun, sudah saatnya untuk selalu menyatakan sesuatu atas dasar berpikir rasional, bukan atas dasar kebiasaan dengan tidak mengerti asal-usulnya. Tanpa mengetahui asal-usul mengapa hal tersebut dilakukan, statement tersebut merupakan hal yang omong kosong.

Salam!