Karangsambung, (Episode Prasejarah)
ARTI KURIKULUM
Part 3
RASIONALISASI DALAM PERSUASI
Oleh: Kiftirul ‘Aziz
“Soal tes kelas III ini kok terlalu sulit sekali yak????? kata salah seorang Kepala Sekolah dari negeri Atas Angin kepada dewan gurunya.
Dewan guru yang ditanya – kebetulan merasa bisa – langsung menjawab, “Nanti dulu, Pak. Dilihat dulu, kalau memang alasan dan dasarnya kuat, bisa kita bicarakan dengan pak pengawas, setahu saya, beliau sarjana. Kata beliau dulu, jika kita belum pernah mengajarkan, kita bisa merubah soal yang bersangkutan, itu diatur di undang-undang lho, Pak!”.
“Dilihat bagaimana? Wong dari baunya saja sudah kelihatan kalau ini bukan ukuran anak kelas III, ini ukuran anak kelas VI!!!” kepala sekolahnya ngotot.
Sekali lagi, perdebatan imajiner, kisah dari negeri Atas Angin, penuh polemik batin dan kontroversial.
Rasionalisasi merupakan suatu proses penggunaan akal untuk memberikan dasar pembenaran kepada sebuah persoalan, di mana dasar atau alasan tersebut bukanlah sebab langsung dari masalah itu (Keraf, 2007: 124-125).
Sejalan dengan Keraf, Depdiknas (2007: 933) menyatakan bahwa rasionalisasi merupakan sebuah proses untuk merasionalkan sesuatu yang semula tidak rasional. Hal ini menunjukkan bahwa rasionalisasi dapat dipergunakan untuk menipu diri sendiri maupun dapat pula digunakan untuk menipu orang lain bahwa yang diambil itu benar.
Pendapat lain dari
Wikipedia (2011), dalam psikologi dan logika, rasionalisasi (atau alasan pembuatan) adalah mekanisme pertahanan yang dianggap sebagai perilaku yang kontroversial atau perasaan yang dijelaskan secara rasional atau logis untuk menghindari penjelasan yang benar, sering melibatkan hipotesa ad hoc. Sedangkan hipotesa ad hoc menurut
Ridwan Fendy (2011) adalah hipotesis yang dilakukan ilmuan sekedar untuk mempertahankan teorinya dari sebuah falsifikasi (agar tidak disalahkan), akibat yang terjadi menyebabkan teori semakin lama semakin rumit dan semakin rumit.
Dapat digarisbawahi, rasionalisasi merupakan proses penggunaan akal untuk memberikan dasar pembenaran terhadap sesuatu yang tadinya tidak masuk akal dengan tujuan mempertahankan teorinya dari sebuah falsifikasi.
O’Keefe; Larson; Pfau&Parrot (dalam Yudi Perbawaningsih, 2003: 6) menyatakan bahwa persuasi merupakan komunikasi yang bertujuan untuk mengubah atau membentuk pendapat, sikap, dan perilaku yang dikehendaki oleh sumber (persuader).
Senada dengan Keraf (2007: 120) yang mengemukakan persuasi merupakan suatu keahlian untuk mencapai suatu persetujuan atau kesesuaian kehendak pembicara dan yang diajak bicara; ini merupakan proses meyakinkan orang lain supaya orang lain menerima apa yang diinginkan pembicara tersebut.
Pendapat lain mengatakan bahwa persuasi merupakan ajakan kepada seseorang dengan cara memberikan alasan dan prospek baik yang meyakinkan (Depdiknas, 2007: 864).
Dapat disimpulkan bahwa persuasi merupakan keahlian untuk mencapai persetujuan kehendak pembicara agar orang lain menerima apa yang diinginkan pembicara dengan cara memberikan alasan dan prospek baik yang meyakinkan.
Rasionalisasi dalam persuasi merupakan proses pemberian dasar pembenaran terhadap sesuatu yang tadinya irasional dengan tujuan agar orang lain menerimanya sebagai sesuatu yang masuk akal.
Dalam konteks tulisan ini, sukar atau tidaknya suatu soal tidak bisa disimpulkan hanya dengan sekedar membaca soal, laporan dari orang lain yang belum tentu kebenarannya, atau karena peserta didiknya tidak bisa menjawab soal tersebut. Jika itu yang digunakan sebagai dasar, peserta didik yang belum rajin belajar pun bisa mengatakan bahwa soal yang diujikan itu sukar. Sulit dibayangkan apabila kita menyamakan pola pikir stakeholder yang notabenenya berpendidikan S1 dengan peserta didik usia sekolah dasar. Sungguh ironi dan memprihatinkan jika memang itu keadaan yang senyatanya.
Kelayakan suatu soal dapat ditinjau dari banyak hal, di antaranya validitas, reliabilitas, dan tingkat kesukaran. Selain itu, langkah-langkah konstruksi tes juga harus ditempuh. Hal lain yang menyangkut proses pembuatan soal dapat kita bahasa di lain kesempatan.
Validitas menurut Djaali & Pudji Mulyono (2008: 49) yaitu ukuran seberapa cermat suatu tes melakukan fungsi ukurnya atau mengukur sesuatu yang seharusnya diukur.
Senada dengan Sumarna Surapranata (tanpa tahun: 50) yang menyatakan bahwa validitas merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan sejauh mana tes telah mengukur apa yang seharusnya diukur.
Validitas menurut Djemari Mardapi (2008: 16) adalah dukungan bukti dan teori terhadap penafsiran skor tes sesuai dengan tujuan penggunaan tes.
Menurut Sumarna Surapranata (tanpa tahun: 51), validitas sendiri dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu: (1) Content validity, (2) Construct validity, (3) Predictive validity, dan (4) Concurrent validity.
Djaali & Pudji Mulyono (2008: 50) menyatakan bahwa konsep validitas tes dapat dibedakan atas 3 macam, yaitu: (1) validitas isi (content validity), (2) validitas konstruk (construct validity), dan (3) validitas empiris atau validitas kriteria. Validitas empiris sendiripun masih dibedakan lagi atas dua macam, yaitu validitas kongkuren dan validitas prediktif.
Cronbach (dalam Djemari Mardapi, 2008: 17) menyatakan bahwa proses validasi itu sendiri bukan bertujuan untuk melakukan validasi tes, akan tetapi melakukan validasi terhadap interpretasi data yang diperoleh melalui prosedur tertentu. Bukti tersebut diperoleh dari akumulasi bukti yang mendukung penafsiran skor suatu tes. Bukti validitas itu sendiri dikelompokkan menjadi empat, yaitu: (1) bukti berdasarkan isi tes, (2) bukti berdasarkan proses respon, (3) bukti berdasarkan struktur internal, dan (4) bukti berdasarkan hubungan dengan variabel lain.
Reliabilitas menurut Djaali & Pudji Mulyono (2008: 55) menyebutkan bahwa reliabilitas berhubungan dengan sejauhmana hasil pengukuran dapat dipercaya. Dalam sumber yang sama, reliabilitas itu sendiri masih dibedakan atas dua macam, yaitu reliabilitas konsistensi tanggapan dan reliabilitas konsistensi gabungan item.
Reliabilitas sendiri menurut Nunnaly; Allen & Yen; dan Anastasi (dalam Sumarna Surapranata, tanpa tahun: 89) adalah kestabilan skor yang diperoleh orang yang sama ketika diuji ulang dengan tes yang sama pada situasi yang berbeda. Reliabilitas dapat dinyatakan sebagai tingkat keajegan atau kemantapan hasil dari dua pengukuran terhadap hal yang sama.
Terdapat beberapa alasan untuk menyatakan tingkat kesukaran suatu instrumen soal. Dari sisi teoritis, tingkat kesukaran suatu soal dapat dilihat dari validitas konstruknya. Konstruk di sini bukan merupakan konstruksi bangunan atau susunan, melainkan rekaan psikologis yang berkaitan dengan ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Soal kategori pemahaman tentu saja akan lebih sukar dibandingkan dengan soal-soal ingatan. Begitu juga sebaliknya, soal aplikasi akan lebih mudah dikerjakan dibandingkan dengan soal evaluasi.
Cara lain yang bisa digunakan untuk mengetahui tingkat kesukaran suatu soal yaitu dengan proporsi jawaban benar (p), yaitu jumlah peserta tes yang menjawab benar pada butir soal yang dianalisis dibandingkn dengan jumlah peserta tes seluruhnya. Tingkat kesukaran (p) sebenarnya merupakan nilai rata-rata dari kelompok peserta tes. Croker & Algina (dalam Sumarna Surapranata, tanpa tahun: 19) menyatakan bahwa tingkat kesukaran sebenarnya adalah rata-rata dari suatu distribusi skor kelompok dari suatu soal. Proporsi jawaban benar (p) merupakan tinjauan empiris untuk menyatakan sukar tidaknya suatu soal.
Djaali & Pudji Mulyono (2008: 12) menyebutkan 11 langkah konstruksi tes, antara lain: (1) menetapkan tujuan tes, (2) analisis kurikulum, (3) analisis buku pelajaran dan sumber dari materi belajar lain, (4) membuat kisi-kisi, (5) penulisan tujuan instruksional yang dirumuskan secara operasional dan secara teknis menggunakan kata-kata operasional, (6) penulisan soal, (7) reproduksi tes terbatas dalam jumlah yang cukup menurut jumlah sampel uji coba (peserta tes dalam suatu kegiatan uji coba), (8) uji coba tes, di mana sampel harus memiliki karakteristik yang kurang lebih sama dengan karakteristik peserta tes yang sesungguhnya, (9) analisis hasil uji coba, (10) revisi soal, dan terakhir (11) merakit soal menjadi instrumen tes. Setelah langkah-langkah itu dilaksanakan, barulah instrumen tes siap digunakan.
Berdasarkan uraian di atas, tidaklah mudah membuat suatu instrumen tes yang baik apalagi mengacu pada validitas dan reliabilitas suatu instrumen tes, jauh lebih mudah berbicara bahwa soal ini tidak layak, soal ini terlalu sukar, soal ini lebih pantas untuk kelas VI, serta statement-statement lain yang terkesan mendiskriditkan si pembuat soal tanpa ada argumentasi yang logis.
Kelayakan suatu instrumen soal bukan dilihat dari siapa yang membuat, GTT atau PNS, S1 atau D2, Kepala Sekolah atau Pengawas, akan tetapi dari sisi obyektifitasnya. Marilah kita lebih bijak untuk menyikapi segala sesuatunya yang terlihat sensitif demi kemajuan dunia pendidikan.
Salam.